Minggu, 10 November 2013
Sabtu, 09 November 2013
Diftong, Kluster dan Silaba
1.
Diftong
Perangkap
bunyi vokoid disebut diftong, sedangkan perangkap
bunyi kontoid disebut kluster.Masalah
diftong/vokoid rangkap ini berhubungan dengan sonoritas/tingkat kenyaringan
suatu bunyi. Dalam
praktiknya,bunyi diftong ini dua macam,yaitu (a) diftong menurun (falling diphtong)
dan (b) diftong menaik (rising diphtong).
Diftong
menurun vokoid (falling diphtong) adalah diftong yang
ketika perangkapan bunyi vokoid itu diucapkan,vokoid pertama bersonoritas ,sedangkan vokoid kedua
kurang bersonoritas bahkan mengarah ke bunyi non vokoid.
Contoh: [pulaw] ‘pulau’
[sampay] ‘sampai’
[harimaw]
‘harimau’ [ramay]
‘ramai’
Diftong
menaik (rising diphthong) adalah diftong yang
ketika perangkapan bunyi vokoid itu diucapkan,vokoid pertama kurang/menurut
sonoritasnya dan mengarah ke bunyi nonvokoid,sedangkan vokoid kedua menguat
sonoritasnya.
Contoh
: [mwa] ‘moi ’
(bahasa Prancis)
[sabwa] ‘sebuah’ (bahasa
minang)
2.
Kluster
Bunyi
kluster/ konsonan rangkap
(dua
atau lebih) merupakan bagian dari struktur fonetis atau fonotaktis yang
disadari oleh penuturnya.
Oleh
karena itu,pengucapan pun harus sesuai dengan struktur fonetis tersebut. Sebab,kalau salah
pengucapan akan berdampak pada pembedaan makna.
Bahasa-bahasa
Barat,baik bahasa Inggris,Belanda maupun Jerman,Kluster ini sangat mewarnai
stuktur fonetisnya. Dalam
Bahasa Inggris misalnya,pola klusternya dapat dirumuskan sebagai berikut:
K
|
K
|
K
|
p
|
S
|
I
|
t
|
|
r
|
|
y
|
|
|
w
|
Kluster dalam
bahasa indonesia sebagai akibat pengaruh stuktur fonetis unsur serapan. Namun, pada umumnya kluster
bahasa indonesia seputar kombinasi berikut:
a)Jika
Kluster terdiri atas dua kontoid,yang berlaku adalah:
kontoid pertama
hanyalah sekitar [p],[b],[k]
kontoid kedua hanyalah
sekitar [l],[r],[w]
Contoh: [p]
pada [pleonasme] [gr] pada [grafik’]
[b] pada [gamblan] [fr] pada [frustasi]
[k] pada [klinik] [sr] pada [pasrah]
b)
Jika kluster terdiri
atas tiga kontoid,yang berlaku adalah:
kontoid
pertama selalu[s]
kontoid
kedua[t] atau[p]
kontoid
ketiga [r] atau[l]
Contoh: [str] pada [strategi]
[spr] pada [sprinter]
[skr] pada
[skripsi]
3.Silaba
Silaba
atau suku kata adalah suatu kenyaringan bunyi yang diikuti dengan satuan
denyutan nada yang menyebabkan udara keluar dari paru-paru.Untuk memahami
tentang suku kata ini para linguis atau fonetis berdasarkan pada dua
teori,yaitu:(1)teori sonoritas dan
(2)teori prominans.
Teori
sonoritas menjelaskan bahwa suatu rangkaian bunyi bahasa diucapkan oleh penutur
selalu terdapat puncak-puncak kenyaringan(sonoritas) di antara bunyi-bunyi yang
diucapkan.Contoh: ucapan
kata bahasa indonesia [mendaki]
terdiri atas tiga puncak kenyaringan.
Puncak kenyaringan adalah[ә]pada [mәn],[a] pada [da]
dan [i] pada [ki]. Dengan
demikian,kata [mәndaki]
mempunyai tiga suku kata.Suku kata pertama berupa bunyi sonor[ә] yang didahului
kontoid[m] dan diikuti kontoid
[n]; suku kata berupa bunyi
sonor[a] yang didahului kontoid
[d]; dan suku kata ketiga
berupa bunyi sonor[i] yang
didahului kontoid[k].
Teori
prominans menitikberatkan pada gabungan sonoritas dan ciri ciri
suprasegmental,terutama jeda
(juncture). Ketika rangkaian bunyi
itu diucapkan,selain terdengar satuan kenyaringan bunyi,juga terasa adanya jeda
di antaranya,yaitu kesenyapan sebelum dan sesudah puncak kenyaringan.Atas
anjuran teori ini,batas di antara bunyi-bunyi puncak diberi tanda
tambah[+].Jadi kata tersebut terdiri atas tiga suku kata.
Berdasarkan
teori sonoritas dan teori prominans diketahui bahwa sebagian besar struktur
kata terdiri atas satu bunyi sonor yang berupa vokoid,baik tidak didahului dan diikuti kontoid, didahului dan
diikuti kontoid, didahului kontoid saja.Pernyataan itu bisa dirumuskan sebagai
berikut:
(K) V (K)
|
Klasifikasi Bunyi Bahasa
Bunyi
bahasa dapat dikategorisasikan menjadi (1) vokal, konsonan, dan semivokal
(Jones, 1958:12), (2) nasal dan oral (Hyman, 1974: Bab 2), (3) panjang dan
pendek (Jones, 1958:136), (4) keras dan lunak (Malmberg, 1963:51- 52), (5)
tunggal dan rangkap (Jones, 1958:22), (6) Egresif dan ingresif (Ladefoged,
1973:23), dan (7) geminat dan homorgan (Robins, 1980, Bab 8).
1. Vokal,
Konsonan, dan Semivokal
Secara umum, bunyi bahasa terbagi atas
tiga macam, yaitu vokal, konsonan, dan semivokal (Jones, 1958: 12). Pembagian
ini berdasar pada ada tidaknya hambatan (proses artikulasi) dalam alat ucap.
Hambatan dalam pita suara tidak pernah disebut artikulasi. Vokal, konsonan, dan
semivokal merupakan jenis bunyi yang dibedakan berdasarkan ada tidaknya
rintangan terhadap arus udara dalam saluran suara. Semivokal biasa dimasukkan
ke dalam konsonan. Karena itu, bunyi segmental lazim dibedakan atas bunyi vokal
dan bunyi konsonan.
Bunyi vokal adalah bunyi
yang arus udaranya tidak mengalami rintangan. Pada pembentukan vokal tidak ada
artikulasi. Hambatan untuk bunyi vokal hanya pada pita suara saja. Hambatan
pada pita suara tidak lazim disebut artikulasi. Karena vokal dihasilkan dengan
hambatan pita suara maka pita suara bergetar. Posisi glotis dalam keadaan
tertutup, tetapi tidak rapat sekali. Dengan demikian, semua vokal termasuk
bunyi bersuara.
Konsonan adalah
bunyi bahasa yang dibentuk dengan menghambat arus udara pada sebagian alat
ucap. Dalam hal ini terjadi artikulasi. Proses hambatan atau artikulasi ini
dapat disertai dengan bergetarnya pita suara, sehingga terbentuk bunyi konsonan
bersuara. Jika artikulasi itu tidak disertai bergetarnya pita suara, glotis
dalam keadaan terbuka akan menghasilkan konsonan tak bersuara.
Bunyi semi-vokal adalah
bunyi yang secara praktis termasuk konsonan, tetapi karena pada saat
diartikulasikan belum membentuk konsonan murni. Bunyi semivokal dapat disebut
semikonsonan, namun istilah ini jarang dipakai.
2. Bunyi
Nasal dan Oral
Bunyi nasal atau sengau dibedakan
dari bunyi oral berdasarkan jalan keluarnya arus udara. Bunyi nasal dihasilkan
dengan menutup arus udara ke luar melalui rongga mulut, tetapi membuka jalan
agar dapat keluar melalui rongga hidung. Penutupan arus udara ke luar melalui
rongga mulut dapat terjadi : (1) antara kedua bibir, hasilnya bunyi [m]; (1)
antara ujung lidah dan ceruk, hasilnya bunyi [n]; (3) antara pangkal lidah dan
langit-langit lunak, hasilnya bunyi []; dan (4) antara ujung lidah dan
langit-langit keras, hasilnya bunyi [ň]. Bunyi oral dihasilkan dengan jalan mengangkut
ujung anak tekak mendekati langkit-langkit lunak untuk menutupi rongga hidung
sehingga arus udara dari paru-paru keluar melalui mulut. Selain bunyi nasal,
semua bunyi vokal dan konsonan bahsa Indonesia termasuk bunyi oral.
3. Bunyi
Keras dan Lunak
Kategorisasi bunyi keras (fortis)
dan bunyi lunak (lenis) dibedakan berdasarkan ada tidaknya ketegangan arus
udara pada waktu bunyi itu diartikulasikan (Malmberg, 1963:51-52). Bunyi bahasa
disebut keras apabila pada waktu diartikulasikan disertai ketegangan kekuatan
arus udara. Sebaliknya, apabila pada waktu diartikulasikan tidak disertai
ketengan kekuatan arus udara, bunyi itu disebut lunak. Dalam bahasa Indonesia
terdapat kedua jenis bunyi tersebut. Baik bunyi keras maupun bunyi lunak dapat
berupa vokal dan konsonan seperti diuraikan berikut ini. Bunyi keras mencakupi
beberapa jenis bunyi seperti :
1)
bunyi letup tak bersuara: [p, t, c, k],
2)
bunyi geseran tak bersuara: [s],
3)
bunyi vokal: [ı]
Bunyi
lunak mencakupi beberapa jenis seperti:
1)
bunyi letup bersuara: [b, d, j, g],
2)
bunyi geseran bersuara: [Z],
3)
bunyi nasal: [m, n, ñ,],
4)
bunyi likuida: [r, l],
5)
bunyi semi-vokal: [w, y],
6)
bunyi vokal: [i, e, o, u].
4. Bunyi
Panjang dan Pendek
Bunyi panjang dibedakan dari bunyi
pendek berdasarkan lamanya bunyi tersebut diucapkan atau diartikulasikan. Vokal
dan konsonan dapat dibedakan atas bunyi panjang dan bunyi pendek (Jones,
1958:136). Tanda bunyi panjang biasanya menggunakan tanda garis pendek di atas
suatu bunyi; atau menggunakan tanda titik dua di sebelah kanannya, contohnya:
[a] panjang ditulis [ā]
atau [a: ].
5. Bunyi
Nyaring dan Tak Nyaring
Bunyi nyaring dibedakan dari bunyi
tak nyaring berdasarkan kenyaringan bunyi pada waktu terdengar oleh telinga.
Pembedaan bunyi berdasarkan derajat kenyaringan itu merupakan tinjauan fonetik
auditoris. Derajat kenyaringan itu sendiri ditentukan oleh luas sempitnya atau
besar kecilnya ruang resonansi pada waktu bunyi itu ducapkan. Makin luas ruang
resonansinya, makin rendah derajat kenyaringannya.
6. Bunyi
Tunggal dan Rangkap
Bunyi tunggal dibedakan dari bunyi
rangkap berdasarkan perwujudannya dalam suku kata. Bunyi tunggal adalah sebuah
bunyi yang berdiri sendiri dalam satu suku kata, sedangkan bunyi rangkap adalah
dua bunyi atau lebih yang bergabung dalam satu suku kata. Semua bunyi vokal dan
konsonan adalah bunyi tunggal. Bunyi tunggal vokal disebut juga monoftong.
Bunyi rangkap dapat berupa diftong maupun klaster. Diftong, yang lazim disebut
vokal rangkap, dibentuk apabila keadaan posisi lidah sewaktu mengucapkan bunyi
vokal yang satu dengan bunyi vokal yang lainnya saling berbeda (Jones,
1958:22). Misalnya, dalam bahasa Indonesia terdapat diftong [oi], [aI], dan
[aU]. Klaster, yang lazim disebut gugus konsonan, dibentuk apabila cara
artikulasi atau tempat artikulasi dari kedua konsonan yang diucapkan saling
berbeda. Misalnya, dalam bahasa Indonesia terdapat gugus [pr], [str], dan [dr].
7. Bunyi Egresif dan Ingresif
Bunyi egresif dan ingresif
dibedakan berdasarkan arus udara. Bunyi egresif dibentuk dengan cara
mengeluarkan arus udara dari dalam paru-paru, sedangkan bunyi ingresif dibentuk
dengan cara mengisap udara ke dalam paruparu. Kebanyakan bunyi bahasa Indonesia
merupakan bunyi egresif. Bunyi egresif dibedakan lagi atas bunyi egresif
pulmonik dan bunyi egresif glotalik.
1. Egresif
pulmonik dibentuk dengan cara mengecilkan rongga
paru-paru oleh otot paru-paru, otot perut, dan rongga dada. Hampir semua bunyi
bahasa Indonesia dibentuk melalui egresif pulmonik.
2. Egresif
glotalik dibentuk dengan cara merapatkan pita
suara sehingga gloatis dalam keadaan tertutup sama sekali. Bunyi egresif
glotalik disebut juga bunyi ejektif, yang ditandai dengan tanda apostrof,
contohnya [p’, t’, k’, s’], contohnya bunyi-bunyi dalam bahasa-bahasa Kaukasus,
Indian, dan Afrika (Ladefoged, 1973:25).
Bunyi ingresif dibedakan atas bunyi
ingresif glotalik dan bunyi ingresif velarik.
1. Ingresif
glotalik memiliki kemiripan dengan cara
pembentukan bunyi egresif glotalik, hanya arus udara yang berbeda. Dibentuk
dengan cara menghisap udara dan merapatkan pita suara sehingga glotis menutup.
Adapun bunyi yang dihasilkannya disebut implosif, yang ditandai dengan tanda
melengkung ke sebelah kanan, contohnya [b, d, g]. Contohnya bunyi-bunyi dalam
bahasa Sindhi, Swahili, Marwari, Ngadha, dan Sawu (Ladefoged, 1973:26).
2. Ingresif
velarik dibentuk dengan cara menghisap udara dan
menaikkan pangkal lidah dalam langit-langit lunak; bersama-sama dengan
merapatkan bibir; begitu pula, ujung lidah dirapatkan ke dalam gigi/gusi.
Contohnya bunyi-bunyi dalam bahasa Khoisa, Xhosa, dan Zulu (Ladefoged, 1973:28-
30).
8. Geminat
dan Homorgan
Geminat yaitu rentetan artikulasi
yang sama (identik), sehingga menimbulkan ucapan panjang dalam bunyi tersebut,
contohnya: Allah dan assalamualaikum. Adapun yang disebut
Homorgan yaitu bunyi-bunyi bahasa yang terbentuk oleh alat dan daerah artikulasi
yang sama. Contohnya, konsonan alveolar: [t], [d], dan [n];
konsonan bilabial [p], [b], dan [m]; konsonan palatal [c],
[j], [n] (Robins, 1980, Bab8)
.
Fonetik
BATASAN
FONETIK
Istilah fonetik berasal dari bahasa
Inggris phonetics artinya ‘ilmu yang mengkaji bunyi-bunyi tanpa
memperhatikan fungsinya untuk membedakan arti (Verhaar,1982:12; Marsono, 1989:1).
Menurut Sudaryanto (1974:1), fonetik mengkaji bunyi bahasa dari sudut ucapan (parole).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fonetik merupakan cabang fonologi yang
mengkaji dan mendeskripsikan bunyi bahasa dari sudut ucapan, bagaimana cara
membentuknya sehingga menjadi getaran udara dan dapat diterima oleh
pendengaran.
Jenis
Fonetik
Berdasarkan sudut pandang bunyi
bahasa, fonetik dapat dibagi menjadi tiga macam, yakni: (1) fonetik organis,
(2) fonetik akustis, dan (3) fonetik auditoris (Bloch & Trager, 1942: 11;
Verhaar, 1982: 12).
a. Fonetik
Organis
Fonetik organis (artikulatoris,
fisiologis) yaitu fonetik yang mengkaji dan mendeskripsikan mekanisme alat-alat
ucap manusia dalam menghasikan bunyi bahasa (Gleason, 1955: 239). Jadi, fonetik
organis ini mendeskripsikan cara membentuk dan mengucapkan bunyi bahasa, serta
pembagian bunyi bahasa berdasarkan artikulasinya. Fonetik ini sebagian besar
termasuk ke dalam bidang garapan linguistik. Oleh sebab itu, para linguis
memasukkannya pada bidang linguistik teoretis..
b. Fonetik
Akustis
Fonetik akustis yaitu fonetik yang
mengkaji dan mendeskripsikan bunyi bahasa berdasar pada aspek-aspek fisiknya
sebagai getaran udara (Malmberg, 1963: 5). Bunyi bahasa dikaji frekuensi
getarannya, amplitudo, intensitas, beserta timbrenya. Fonetik akustis erat
hubungannya dengan fisika, atau merupakan ilmu antardisiplin antara linguistik
dan fisika. Fonetik akustis berfungsi praktis seperti dalam pembuatan telepon,
rekaman piringan hitam, cassette recorder.
c. Fonetik
Auditoris
Fonetik auditoris yaitu fonetik
yang mengkaji dan mendeskripsikan cara mekanisme pendengaran penerimaan
bunyi-bunyi bahasa sebagai getaran udara (Bronstein & Jacoby, 1967:70-72).
Fonetik auditoris ini sebagian besar termasuk pada bidang neurologi
(kedokteran), atau merupakan ilmu antardisiplin antara linguistik dan
kedokteran.Hubungan ketiga fonetik tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut
ini.
Gambar
Pembagian Fonetik
Ada sebuah
pendekatan ketika kita menganalisis bunyi bahasa.Pendekatan tersebut disebut
pendekatan parametris. Pendekatan ini memandang ucapan sebagai sistem
fisiologis tunggal yang variabel-variabel artikulasinya berada dalam saluran
bunyi yang terus berubah dan saling melengkapi
Muslich, M. 2010. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Akasara
Resmini, N,dkk. 2010. Kebahasaan I (Fonologi, Morfologi, dan Semantik).Bandung: Upi Press
Menganalisis Kebutuhan Unsur Kebahasaan
Dalam kompetensi dasar, berbagai aspek keterampilan berbahasa belum tampak. Pernyataan yang ada pada kompetensi dasar masih berupa penggunaan bahasa. Untuk itu, kewajiban guru menentukan unsur kebahasaan yang diperlukan untuk setiap kompetensi dasar tersebut. Agar dapat memahami penjelasan tersebut, perhatikan tabel berikut yang berisi contoh kompetensi dasar yang telah diberi fokus unsur kebahasaan.
Kompetensi Dasar
|
Unsur Kebahasaan
|
Menanggapi siaran atau informasi dari media
elektronik (berita dan nonberita).
|
a)
Menemukan makna kata sulit.
b) Melafalkan
bunyi secara tepat.
c)
Menggunakan kalimat tunggal secara tepat.
d) Menggunakan
kalimat berita secara
tepat
|
Pada tabel di atas tampak bahwa unsur kebahasaan yang muncul merupakan unsur kebahasaan yang diperlukan untuk mencapai kompetensi dasar. Dari keempat unsur kebahasaan tersebut, guru dapat memilih satu atau lebih unsur kebahasaan (sesuai dengan waktu yang tersedia) dalam pelaksanaan pembelajaran. Jadi, pada setiap kompetensi dasar guru selalu menyertakan unsur kebahasaan. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia saat ini banyak guru yang meninggalkan unsur kebahasaan sebagai salah satu komponen pembelajaran karena pembelajaran bahasa lebih diarahkan pada penggunaan bahasa. Padahal, untuk dapat menggunakan bahasa yang cendekia dan berwibawa diperlukan seperangkat kaidah bahasa. Jika siswa tidak menerapkan kaidah bahasa dengan benar, kualitas bahasa yang digunakan pun tidak akan mencerminkan bahasa yang cendekia dan berwibawa. Untuk dapat menganalisis kebutuhan unsur kebahasaan dalam pembelajaran diperlukan berbagai pertimbangan, di antaranya unsur kebahasaan yang ditentukan sesuai dengan keperluan (memiliki sifat keterhubungan), kaidah yang digunakan memiliki sifat benar, sederhana, terbatas, jelas, dan hemat (Swan dalam Bygate, Tomkyn, dan William, 1994:45).
Langganan:
Postingan (Atom)