Sabtu, 09 November 2013

Diftong, Kluster dan Silaba


1.         Diftong
Perangkap bunyi vokoid disebut diftong, sedangkan perangkap bunyi kontoid disebut kluster.Masalah diftong/vokoid rangkap ini berhubungan dengan sonoritas/tingkat kenyaringan suatu bunyi. Dalam praktiknya,bunyi diftong ini dua macam,yaitu (a) diftong menurun (falling diphtong) dan (b) diftong menaik (rising diphtong).
Diftong menurun vokoid (falling diphtong) adalah diftong yang ketika perangkapan bunyi vokoid itu diucapkan,vokoid pertama bersonoritas ,sedangkan vokoid kedua kurang bersonoritas bahkan mengarah ke bunyi non vokoid.
  Contoh: [pulaw]            ‘pulau’         [sampay]      ‘sampai’  
                [harimaw]       ‘harimau’      [ramay]         ‘ramai’
Diftong menaik (rising diphthong) adalah diftong yang ketika perangkapan bunyi vokoid itu diucapkan,vokoid pertama kurang/menurut sonoritasnya dan mengarah ke bunyi nonvokoid,sedangkan vokoid kedua menguat sonoritasnya.
   Contoh : [mwa]   ‘moi ’      (bahasa Prancis)
                 [sabwa] ‘sebuah’  (bahasa minang)

2.      Kluster
Bunyi kluster/ konsonan rangkap (dua atau lebih) merupakan bagian dari struktur fonetis atau fonotaktis yang disadari oleh penuturnya. Oleh karena itu,pengucapan pun harus sesuai dengan struktur fonetis tersebut. Sebab,kalau salah pengucapan akan berdampak pada pembedaan makna.
Bahasa-bahasa Barat,baik bahasa Inggris,Belanda maupun Jerman,Kluster ini sangat mewarnai stuktur fonetisnya. Dalam Bahasa Inggris misalnya,pola klusternya dapat dirumuskan sebagai berikut: 
K
K
K
p
S
I
t

r

y

w








Kluster dalam bahasa indonesia sebagai akibat pengaruh stuktur fonetis unsur serapan. Namun, pada umumnya kluster bahasa indonesia seputar kombinasi berikut:
a)Jika Kluster terdiri atas dua kontoid,yang berlaku adalah:
kontoid pertama hanyalah sekitar [p],[b],[k]
kontoid kedua hanyalah sekitar [l],[r],[w]
Contoh:    [p] pada  [pleonasme]          [gr] pada [grafik’]
       [b] pada  [gamblan]             [fr] pada  [frustasi]
        [k] pada  [klinik]                  [sr] pada [pasrah]
b)   Jika kluster terdiri atas tiga kontoid,yang berlaku adalah:
kontoid pertama selalu[s]
kontoid kedua[t] atau[p]
kontoid ketiga [r] atau[l]
Contoh: [str] pada [strategi]
        [spr] pada [sprinter]
        [skr] pada [skripsi]
                              3.Silaba
Silaba atau suku kata adalah suatu kenyaringan bunyi yang diikuti dengan satuan denyutan nada yang menyebabkan udara keluar dari paru-paru.Untuk memahami tentang suku kata ini para linguis atau fonetis berdasarkan pada dua teori,yaitu:(1)teori sonoritas dan (2)teori prominans.
Teori sonoritas menjelaskan bahwa suatu rangkaian bunyi bahasa diucapkan oleh penutur selalu terdapat puncak-puncak kenyaringan(sonoritas) di antara bunyi-bunyi yang diucapkan.Contoh: ucapan kata bahasa indonesia [mendaki] terdiri atas tiga puncak kenyaringan. Puncak kenyaringan adalah[ә]pada [mәn],[a] pada [da] dan [i] pada [ki]. Dengan demikian,kata [mәndaki] mempunyai tiga suku kata.Suku kata pertama berupa bunyi sonor[ә] yang didahului kontoid[m] dan diikuti kontoid [n]; suku kata berupa bunyi sonor[a] yang didahului kontoid [d]; dan suku kata ketiga berupa bunyi sonor[i] yang didahului kontoid[k].
Teori prominans menitikberatkan pada gabungan sonoritas dan ciri ciri suprasegmental,terutama jeda (juncture). Ketika rangkaian bunyi itu diucapkan,selain terdengar satuan kenyaringan bunyi,juga terasa adanya jeda di antaranya,yaitu kesenyapan sebelum dan sesudah puncak kenyaringan.Atas anjuran teori ini,batas di antara bunyi-bunyi puncak diberi tanda tambah[+].Jadi kata tersebut terdiri atas tiga suku kata.
Berdasarkan teori sonoritas dan teori prominans diketahui bahwa sebagian besar struktur kata terdiri atas satu bunyi sonor yang berupa vokoid,baik tidak didahului dan diikuti kontoid, didahului dan diikuti kontoid, didahului kontoid saja.Pernyataan itu bisa dirumuskan sebagai berikut:

     
       (K) V (K)

Klasifikasi Bunyi Bahasa


Bunyi bahasa dapat dikategorisasikan menjadi (1) vokal, konsonan, dan semivokal (Jones, 1958:12), (2) nasal dan oral (Hyman, 1974: Bab 2), (3) panjang dan pendek (Jones, 1958:136), (4) keras dan lunak (Malmberg, 1963:51- 52), (5) tunggal dan rangkap (Jones, 1958:22), (6) Egresif dan ingresif (Ladefoged, 1973:23), dan (7) geminat dan homorgan (Robins, 1980, Bab 8).
1.   Vokal, Konsonan, dan Semivokal
Secara umum, bunyi bahasa terbagi atas tiga macam, yaitu vokal, konsonan, dan semivokal (Jones, 1958: 12). Pembagian ini berdasar pada ada tidaknya hambatan (proses artikulasi) dalam alat ucap. Hambatan dalam pita suara tidak pernah disebut artikulasi. Vokal, konsonan, dan semivokal merupakan jenis bunyi yang dibedakan berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam saluran suara. Semivokal biasa dimasukkan ke dalam konsonan. Karena itu, bunyi segmental lazim dibedakan atas bunyi vokal dan bunyi konsonan.
Bunyi vokal adalah bunyi yang arus udaranya tidak mengalami rintangan. Pada pembentukan vokal tidak ada artikulasi. Hambatan untuk bunyi vokal hanya pada pita suara saja. Hambatan pada pita suara tidak lazim disebut artikulasi. Karena vokal dihasilkan dengan hambatan pita suara maka pita suara bergetar. Posisi glotis dalam keadaan tertutup, tetapi tidak rapat sekali. Dengan demikian, semua vokal termasuk bunyi bersuara.
Konsonan adalah bunyi bahasa yang dibentuk dengan menghambat arus udara pada sebagian alat ucap. Dalam hal ini terjadi artikulasi. Proses hambatan atau artikulasi ini dapat disertai dengan bergetarnya pita suara, sehingga terbentuk bunyi konsonan bersuara. Jika artikulasi itu tidak disertai bergetarnya pita suara, glotis dalam keadaan terbuka akan menghasilkan konsonan tak bersuara.
Bunyi semi-vokal adalah bunyi yang secara praktis termasuk konsonan, tetapi karena pada saat diartikulasikan belum membentuk konsonan murni. Bunyi semivokal dapat disebut semikonsonan, namun istilah ini jarang dipakai.
2.   Bunyi Nasal dan Oral
Bunyi nasal atau sengau dibedakan dari bunyi oral berdasarkan jalan keluarnya arus udara. Bunyi nasal dihasilkan dengan menutup arus udara ke luar melalui rongga mulut, tetapi membuka jalan agar dapat keluar melalui rongga hidung. Penutupan arus udara ke luar melalui rongga mulut dapat terjadi : (1) antara kedua bibir, hasilnya bunyi [m]; (1) antara ujung lidah dan ceruk, hasilnya bunyi [n]; (3) antara pangkal lidah dan langit-langit lunak, hasilnya bunyi []; dan (4) antara ujung lidah dan langit-langit keras, hasilnya bunyi [ň]. Bunyi oral dihasilkan dengan jalan mengangkut ujung anak tekak mendekati langkit-langkit lunak untuk menutupi rongga hidung sehingga arus udara dari paru-paru keluar melalui mulut. Selain bunyi nasal, semua bunyi vokal dan konsonan bahsa Indonesia termasuk bunyi oral.
3.   Bunyi Keras dan Lunak
Kategorisasi bunyi keras (fortis) dan bunyi lunak (lenis) dibedakan berdasarkan ada tidaknya ketegangan arus udara pada waktu bunyi itu diartikulasikan (Malmberg, 1963:51-52). Bunyi bahasa disebut keras apabila pada waktu diartikulasikan disertai ketegangan kekuatan arus udara. Sebaliknya, apabila pada waktu diartikulasikan tidak disertai ketengan kekuatan arus udara, bunyi itu disebut lunak. Dalam bahasa Indonesia terdapat kedua jenis bunyi tersebut. Baik bunyi keras maupun bunyi lunak dapat berupa vokal dan konsonan seperti diuraikan berikut ini. Bunyi keras mencakupi beberapa jenis bunyi seperti :
1) bunyi letup tak bersuara: [p, t, c, k],
2) bunyi geseran tak bersuara: [s],
3) bunyi vokal: [ı]
Bunyi lunak mencakupi beberapa jenis seperti:
1) bunyi letup bersuara: [b, d, j, g],
2) bunyi geseran bersuara: [Z],
3) bunyi nasal: [m, n, ñ,],
4) bunyi likuida: [r, l],
5) bunyi semi-vokal: [w, y],
6) bunyi vokal: [i, e, o, u].
4.   Bunyi Panjang dan Pendek
Bunyi panjang dibedakan dari bunyi pendek berdasarkan lamanya bunyi tersebut diucapkan atau diartikulasikan. Vokal dan konsonan dapat dibedakan atas bunyi panjang dan bunyi pendek (Jones, 1958:136). Tanda bunyi panjang biasanya menggunakan tanda garis pendek di atas suatu bunyi; atau menggunakan tanda titik dua di sebelah kanannya, contohnya: [a] panjang ditulis [ā] atau [a: ].
5.   Bunyi Nyaring dan Tak Nyaring
Bunyi nyaring dibedakan dari bunyi tak nyaring berdasarkan kenyaringan bunyi pada waktu terdengar oleh telinga. Pembedaan bunyi berdasarkan derajat kenyaringan itu merupakan tinjauan fonetik auditoris. Derajat kenyaringan itu sendiri ditentukan oleh luas sempitnya atau besar kecilnya ruang resonansi pada waktu bunyi itu ducapkan. Makin luas ruang resonansinya, makin rendah derajat kenyaringannya.
6.   Bunyi Tunggal dan Rangkap
Bunyi tunggal dibedakan dari bunyi rangkap berdasarkan perwujudannya dalam suku kata. Bunyi tunggal adalah sebuah bunyi yang berdiri sendiri dalam satu suku kata, sedangkan bunyi rangkap adalah dua bunyi atau lebih yang bergabung dalam satu suku kata. Semua bunyi vokal dan konsonan adalah bunyi tunggal. Bunyi tunggal vokal disebut juga monoftong. Bunyi rangkap dapat berupa diftong maupun klaster. Diftong, yang lazim disebut vokal rangkap, dibentuk apabila keadaan posisi lidah sewaktu mengucapkan bunyi vokal yang satu dengan bunyi vokal yang lainnya saling berbeda (Jones, 1958:22). Misalnya, dalam bahasa Indonesia terdapat diftong [oi], [aI], dan [aU]. Klaster, yang lazim disebut gugus konsonan, dibentuk apabila cara artikulasi atau tempat artikulasi dari kedua konsonan yang diucapkan saling berbeda. Misalnya, dalam bahasa Indonesia terdapat gugus [pr], [str], dan [dr]. 
7.    Bunyi Egresif dan Ingresif
Bunyi egresif dan ingresif dibedakan berdasarkan arus udara. Bunyi egresif dibentuk dengan cara mengeluarkan arus udara dari dalam paru-paru, sedangkan bunyi ingresif dibentuk dengan cara mengisap udara ke dalam paruparu. Kebanyakan bunyi bahasa Indonesia merupakan bunyi egresif. Bunyi egresif dibedakan lagi atas bunyi egresif pulmonik dan bunyi egresif glotalik.
1.      Egresif pulmonik dibentuk dengan cara mengecilkan rongga paru-paru oleh otot paru-paru, otot perut, dan rongga dada. Hampir semua bunyi bahasa Indonesia dibentuk melalui egresif pulmonik.
2.      Egresif glotalik dibentuk dengan cara merapatkan pita suara sehingga gloatis dalam keadaan tertutup sama sekali. Bunyi egresif glotalik disebut juga bunyi ejektif, yang ditandai dengan tanda apostrof, contohnya [p’, t’, k’, s’], contohnya bunyi-bunyi dalam bahasa-bahasa Kaukasus, Indian, dan Afrika (Ladefoged, 1973:25).
Bunyi ingresif dibedakan atas bunyi ingresif glotalik dan bunyi ingresif velarik.
1.      Ingresif glotalik memiliki kemiripan dengan cara pembentukan bunyi egresif glotalik, hanya arus udara yang berbeda. Dibentuk dengan cara menghisap udara dan merapatkan pita suara sehingga glotis menutup. Adapun bunyi yang dihasilkannya disebut implosif, yang ditandai dengan tanda melengkung ke sebelah kanan, contohnya [b, d, g]. Contohnya bunyi-bunyi dalam bahasa Sindhi, Swahili, Marwari, Ngadha, dan Sawu (Ladefoged, 1973:26).
2.      Ingresif velarik dibentuk dengan cara menghisap udara dan menaikkan pangkal lidah dalam langit-langit lunak; bersama-sama dengan merapatkan bibir; begitu pula, ujung lidah dirapatkan ke dalam gigi/gusi. Contohnya bunyi-bunyi dalam bahasa Khoisa, Xhosa, dan Zulu (Ladefoged, 1973:28- 30).
8.      Geminat dan Homorgan
Geminat yaitu rentetan artikulasi yang sama (identik), sehingga menimbulkan ucapan panjang dalam bunyi tersebut, contohnya: Allah dan assalamualaikum. Adapun yang disebut Homorgan yaitu bunyi-bunyi bahasa yang terbentuk oleh alat dan daerah artikulasi yang sama. Contohnya, konsonan alveolar: [t], [d], dan [n]; konsonan bilabial [p], [b], dan [m]; konsonan palatal [c], [j], [n] (Robins, 1980, Bab8)

.

Fonetik

BATASAN FONETIK
Istilah fonetik berasal dari bahasa Inggris phonetics artinya ‘ilmu yang mengkaji bunyi-bunyi tanpa memperhatikan fungsinya untuk membedakan arti (Verhaar,1982:12; Marsono, 1989:1). Menurut Sudaryanto (1974:1), fonetik mengkaji bunyi bahasa dari sudut ucapan (parole). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fonetik merupakan cabang fonologi yang mengkaji dan mendeskripsikan bunyi bahasa dari sudut ucapan, bagaimana cara membentuknya sehingga menjadi getaran udara dan dapat diterima oleh pendengaran.

 Jenis Fonetik
Berdasarkan sudut pandang bunyi bahasa, fonetik dapat dibagi menjadi tiga macam, yakni: (1) fonetik organis, (2) fonetik akustis, dan (3) fonetik auditoris (Bloch & Trager, 1942: 11; Verhaar, 1982: 12).
a.      Fonetik Organis
Fonetik organis (artikulatoris, fisiologis) yaitu fonetik yang mengkaji dan mendeskripsikan mekanisme alat-alat ucap manusia dalam menghasikan bunyi bahasa (Gleason, 1955: 239). Jadi, fonetik organis ini mendeskripsikan cara membentuk dan mengucapkan bunyi bahasa, serta pembagian bunyi bahasa berdasarkan artikulasinya. Fonetik ini sebagian besar termasuk ke dalam bidang garapan linguistik. Oleh sebab itu, para linguis memasukkannya pada bidang linguistik teoretis..
b.      Fonetik Akustis
Fonetik akustis yaitu fonetik yang mengkaji dan mendeskripsikan bunyi bahasa berdasar pada aspek-aspek fisiknya sebagai getaran udara (Malmberg, 1963: 5). Bunyi bahasa dikaji frekuensi getarannya, amplitudo, intensitas, beserta timbrenya. Fonetik akustis erat hubungannya dengan fisika, atau merupakan ilmu antardisiplin antara linguistik dan fisika. Fonetik akustis berfungsi praktis seperti dalam pembuatan telepon, rekaman piringan hitam, cassette recorder.
c.       Fonetik Auditoris
Fonetik auditoris yaitu fonetik yang mengkaji dan mendeskripsikan cara mekanisme pendengaran penerimaan bunyi-bunyi bahasa sebagai getaran udara (Bronstein & Jacoby, 1967:70-72). Fonetik auditoris ini sebagian besar termasuk pada bidang neurologi (kedokteran), atau merupakan ilmu antardisiplin antara linguistik dan kedokteran.Hubungan ketiga fonetik tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut ini.
Gambar 
Pembagian Fonetik


Ada sebuah pendekatan ketika kita menganalisis bunyi bahasa.Pendekatan tersebut disebut pendekatan parametris. Pendekatan ini memandang ucapan sebagai sistem fisiologis tunggal yang variabel-variabel artikulasinya berada dalam saluran bunyi yang terus berubah dan saling melengkapi

Muslich, M. 2010. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Akasara

Resmini, N,dkk. 2010. Kebahasaan I (Fonologi, Morfologi, dan Semantik).Bandung: Upi Press

Menganalisis Kebutuhan Unsur Kebahasaan

Dalam kompetensi dasar, berbagai aspek keterampilan berbahasa belum tampak. Pernyataan yang ada pada kompetensi dasar masih berupa penggunaan bahasa. Untuk itu, kewajiban guru menentukan unsur kebahasaan yang diperlukan untuk setiap kompetensi dasar tersebut. Agar dapat memahami penjelasan tersebut, perhatikan tabel berikut yang berisi contoh kompetensi dasar yang telah diberi fokus unsur kebahasaan.

Kompetensi Dasar
Unsur Kebahasaan 
Menanggapi siaran atau informasi dari media
elektronik (berita dan nonberita).

a)   Menemukan makna kata sulit.
b)  Melafalkan bunyi secara tepat.
c)   Menggunakan kalimat tunggal secara tepat.
d)  Menggunakan kalimat berita secara
tepat



Pada tabel di atas tampak bahwa unsur kebahasaan yang muncul merupakan unsur  kebahasaan yang diperlukan untuk mencapai kompetensi dasar. Dari keempat unsur kebahasaan tersebut, guru dapat memilih satu atau lebih unsur kebahasaan (sesuai dengan waktu yang tersedia) dalam pelaksanaan pembelajaran. Jadi, pada setiap kompetensi dasar guru selalu menyertakan unsur kebahasaan. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia saat ini banyak guru yang meninggalkan unsur kebahasaan sebagai salah satu komponen pembelajaran karena pembelajaran bahasa lebih diarahkan pada penggunaan bahasa. Padahal, untuk dapat menggunakan bahasa yang cendekia dan berwibawa diperlukan seperangkat kaidah bahasa. Jika siswa tidak menerapkan kaidah bahasa dengan benar, kualitas bahasa yang digunakan pun tidak akan mencerminkan bahasa yang cendekia dan berwibawa. Untuk dapat menganalisis kebutuhan unsur kebahasaan dalam pembelajaran diperlukan berbagai pertimbangan, di antaranya unsur kebahasaan yang ditentukan sesuai dengan keperluan (memiliki sifat keterhubungan), kaidah yang digunakan memiliki sifat benar, sederhana, terbatas, jelas, dan hemat (Swan dalam Bygate, Tomkyn, dan William, 1994:45).