Bunyi
bahasa dapat dikategorisasikan menjadi (1) vokal, konsonan, dan semivokal
(Jones, 1958:12), (2) nasal dan oral (Hyman, 1974: Bab 2), (3) panjang dan
pendek (Jones, 1958:136), (4) keras dan lunak (Malmberg, 1963:51- 52), (5)
tunggal dan rangkap (Jones, 1958:22), (6) Egresif dan ingresif (Ladefoged,
1973:23), dan (7) geminat dan homorgan (Robins, 1980, Bab 8).
1. Vokal,
Konsonan, dan Semivokal
Secara umum, bunyi bahasa terbagi atas
tiga macam, yaitu vokal, konsonan, dan semivokal (Jones, 1958: 12). Pembagian
ini berdasar pada ada tidaknya hambatan (proses artikulasi) dalam alat ucap.
Hambatan dalam pita suara tidak pernah disebut artikulasi. Vokal, konsonan, dan
semivokal merupakan jenis bunyi yang dibedakan berdasarkan ada tidaknya
rintangan terhadap arus udara dalam saluran suara. Semivokal biasa dimasukkan
ke dalam konsonan. Karena itu, bunyi segmental lazim dibedakan atas bunyi vokal
dan bunyi konsonan.
Bunyi vokal adalah bunyi
yang arus udaranya tidak mengalami rintangan. Pada pembentukan vokal tidak ada
artikulasi. Hambatan untuk bunyi vokal hanya pada pita suara saja. Hambatan
pada pita suara tidak lazim disebut artikulasi. Karena vokal dihasilkan dengan
hambatan pita suara maka pita suara bergetar. Posisi glotis dalam keadaan
tertutup, tetapi tidak rapat sekali. Dengan demikian, semua vokal termasuk
bunyi bersuara.
Konsonan adalah
bunyi bahasa yang dibentuk dengan menghambat arus udara pada sebagian alat
ucap. Dalam hal ini terjadi artikulasi. Proses hambatan atau artikulasi ini
dapat disertai dengan bergetarnya pita suara, sehingga terbentuk bunyi konsonan
bersuara. Jika artikulasi itu tidak disertai bergetarnya pita suara, glotis
dalam keadaan terbuka akan menghasilkan konsonan tak bersuara.
Bunyi semi-vokal adalah
bunyi yang secara praktis termasuk konsonan, tetapi karena pada saat
diartikulasikan belum membentuk konsonan murni. Bunyi semivokal dapat disebut
semikonsonan, namun istilah ini jarang dipakai.
2. Bunyi
Nasal dan Oral
Bunyi nasal atau sengau dibedakan
dari bunyi oral berdasarkan jalan keluarnya arus udara. Bunyi nasal dihasilkan
dengan menutup arus udara ke luar melalui rongga mulut, tetapi membuka jalan
agar dapat keluar melalui rongga hidung. Penutupan arus udara ke luar melalui
rongga mulut dapat terjadi : (1) antara kedua bibir, hasilnya bunyi [m]; (1)
antara ujung lidah dan ceruk, hasilnya bunyi [n]; (3) antara pangkal lidah dan
langit-langit lunak, hasilnya bunyi []; dan (4) antara ujung lidah dan
langit-langit keras, hasilnya bunyi [ň]. Bunyi oral dihasilkan dengan jalan mengangkut
ujung anak tekak mendekati langkit-langkit lunak untuk menutupi rongga hidung
sehingga arus udara dari paru-paru keluar melalui mulut. Selain bunyi nasal,
semua bunyi vokal dan konsonan bahsa Indonesia termasuk bunyi oral.
3. Bunyi
Keras dan Lunak
Kategorisasi bunyi keras (fortis)
dan bunyi lunak (lenis) dibedakan berdasarkan ada tidaknya ketegangan arus
udara pada waktu bunyi itu diartikulasikan (Malmberg, 1963:51-52). Bunyi bahasa
disebut keras apabila pada waktu diartikulasikan disertai ketegangan kekuatan
arus udara. Sebaliknya, apabila pada waktu diartikulasikan tidak disertai
ketengan kekuatan arus udara, bunyi itu disebut lunak. Dalam bahasa Indonesia
terdapat kedua jenis bunyi tersebut. Baik bunyi keras maupun bunyi lunak dapat
berupa vokal dan konsonan seperti diuraikan berikut ini. Bunyi keras mencakupi
beberapa jenis bunyi seperti :
1)
bunyi letup tak bersuara: [p, t, c, k],
2)
bunyi geseran tak bersuara: [s],
3)
bunyi vokal: [ı]
Bunyi
lunak mencakupi beberapa jenis seperti:
1)
bunyi letup bersuara: [b, d, j, g],
2)
bunyi geseran bersuara: [Z],
3)
bunyi nasal: [m, n, ñ,],
4)
bunyi likuida: [r, l],
5)
bunyi semi-vokal: [w, y],
6)
bunyi vokal: [i, e, o, u].
4. Bunyi
Panjang dan Pendek
Bunyi panjang dibedakan dari bunyi
pendek berdasarkan lamanya bunyi tersebut diucapkan atau diartikulasikan. Vokal
dan konsonan dapat dibedakan atas bunyi panjang dan bunyi pendek (Jones,
1958:136). Tanda bunyi panjang biasanya menggunakan tanda garis pendek di atas
suatu bunyi; atau menggunakan tanda titik dua di sebelah kanannya, contohnya:
[a] panjang ditulis [ā]
atau [a: ].
5. Bunyi
Nyaring dan Tak Nyaring
Bunyi nyaring dibedakan dari bunyi
tak nyaring berdasarkan kenyaringan bunyi pada waktu terdengar oleh telinga.
Pembedaan bunyi berdasarkan derajat kenyaringan itu merupakan tinjauan fonetik
auditoris. Derajat kenyaringan itu sendiri ditentukan oleh luas sempitnya atau
besar kecilnya ruang resonansi pada waktu bunyi itu ducapkan. Makin luas ruang
resonansinya, makin rendah derajat kenyaringannya.
6. Bunyi
Tunggal dan Rangkap
Bunyi tunggal dibedakan dari bunyi
rangkap berdasarkan perwujudannya dalam suku kata. Bunyi tunggal adalah sebuah
bunyi yang berdiri sendiri dalam satu suku kata, sedangkan bunyi rangkap adalah
dua bunyi atau lebih yang bergabung dalam satu suku kata. Semua bunyi vokal dan
konsonan adalah bunyi tunggal. Bunyi tunggal vokal disebut juga monoftong.
Bunyi rangkap dapat berupa diftong maupun klaster. Diftong, yang lazim disebut
vokal rangkap, dibentuk apabila keadaan posisi lidah sewaktu mengucapkan bunyi
vokal yang satu dengan bunyi vokal yang lainnya saling berbeda (Jones,
1958:22). Misalnya, dalam bahasa Indonesia terdapat diftong [oi], [aI], dan
[aU]. Klaster, yang lazim disebut gugus konsonan, dibentuk apabila cara
artikulasi atau tempat artikulasi dari kedua konsonan yang diucapkan saling
berbeda. Misalnya, dalam bahasa Indonesia terdapat gugus [pr], [str], dan [dr].
7. Bunyi Egresif dan Ingresif
Bunyi egresif dan ingresif
dibedakan berdasarkan arus udara. Bunyi egresif dibentuk dengan cara
mengeluarkan arus udara dari dalam paru-paru, sedangkan bunyi ingresif dibentuk
dengan cara mengisap udara ke dalam paruparu. Kebanyakan bunyi bahasa Indonesia
merupakan bunyi egresif. Bunyi egresif dibedakan lagi atas bunyi egresif
pulmonik dan bunyi egresif glotalik.
1. Egresif
pulmonik dibentuk dengan cara mengecilkan rongga
paru-paru oleh otot paru-paru, otot perut, dan rongga dada. Hampir semua bunyi
bahasa Indonesia dibentuk melalui egresif pulmonik.
2. Egresif
glotalik dibentuk dengan cara merapatkan pita
suara sehingga gloatis dalam keadaan tertutup sama sekali. Bunyi egresif
glotalik disebut juga bunyi ejektif, yang ditandai dengan tanda apostrof,
contohnya [p’, t’, k’, s’], contohnya bunyi-bunyi dalam bahasa-bahasa Kaukasus,
Indian, dan Afrika (Ladefoged, 1973:25).
Bunyi ingresif dibedakan atas bunyi
ingresif glotalik dan bunyi ingresif velarik.
1. Ingresif
glotalik memiliki kemiripan dengan cara
pembentukan bunyi egresif glotalik, hanya arus udara yang berbeda. Dibentuk
dengan cara menghisap udara dan merapatkan pita suara sehingga glotis menutup.
Adapun bunyi yang dihasilkannya disebut implosif, yang ditandai dengan tanda
melengkung ke sebelah kanan, contohnya [b, d, g]. Contohnya bunyi-bunyi dalam
bahasa Sindhi, Swahili, Marwari, Ngadha, dan Sawu (Ladefoged, 1973:26).
2. Ingresif
velarik dibentuk dengan cara menghisap udara dan
menaikkan pangkal lidah dalam langit-langit lunak; bersama-sama dengan
merapatkan bibir; begitu pula, ujung lidah dirapatkan ke dalam gigi/gusi.
Contohnya bunyi-bunyi dalam bahasa Khoisa, Xhosa, dan Zulu (Ladefoged, 1973:28-
30).
8. Geminat
dan Homorgan
Geminat yaitu rentetan artikulasi
yang sama (identik), sehingga menimbulkan ucapan panjang dalam bunyi tersebut,
contohnya: Allah dan assalamualaikum. Adapun yang disebut
Homorgan yaitu bunyi-bunyi bahasa yang terbentuk oleh alat dan daerah artikulasi
yang sama. Contohnya, konsonan alveolar: [t], [d], dan [n];
konsonan bilabial [p], [b], dan [m]; konsonan palatal [c],
[j], [n] (Robins, 1980, Bab8)
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar